Demonstrasi mahasiswa: Polri diminta ‘hentikan cara arogan dan kekerasan’

- Redaksi

Rabu, 25 September 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Polisi memukuli mahasiswa di depan kantor DPRD Sulawesi Selatan, Makassar, Selasa (24/09). (foto: antara)

Polisi memukuli mahasiswa di depan kantor DPRD Sulawesi Selatan, Makassar, Selasa (24/09). (foto: antara)

Beritasulsel.com – Tindakan kepolisian dalam menangani demonstrasi mahasiswa di kawasan gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa (23/09), mendapat sorotan dari kalangan pegiat hak asasi manusia.

Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), misalnya, meminta kepolisian untuk menghentikan pendekatan dengan cara kekerasan terhadap pengunjuk rasa.

“Hentikan cara-cara lama yang arogan dan kekerasan terhadap mahasiswa. Itu hanya mengundang kemarahan mahasiswa dan masyarakat. Bebaskan segera yang ditangkap, jangan halangi akses bantuan hukum kepada mereka. Polisi yang terbukti melakukan kekerasan harus dihukum,” ujar Koordinator KontraS, Yati Andriyani, dalam keterangan tertulisnya kepada BBC Indonesia, Rabu (25/09).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

KontraS, lanjutnya, akan membuka Posko Pengaduan bersama dengan jaringan masyarakat sipil lainnya guna memfasilitasi korban kekerasan.

Dalam unjuk rasa menentang pengesahan sejumlah rancangan undang-undang, termasuk revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), seorang mahasiswa dilaporkan mengalami luka parah.

Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) mengonfirmasi salah satu mahasiswanya menjadi korban saat berdemo di kawasan gedung DPR/MPR.

“Bahwa saat ini Faisal Amir sedang dalam kondisi stabil setelah mendapatkan penanganan medis secara maksimal di RS Pelni,” kata Rektor UAI dalam keterangan pers, Rabu (25/09).

Mahasiswa angkatan 2016 itu diketahui ditemukan terkapar di kawasan DPR dengan luka kepala yang cukup serius.

Bukan hanya Faisal, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mencatat empat jurnalis mengalami luka dan trauma pascaunjuk rasa di kawasan DPR/MPR.

“Sampai Rabu (25/9) pagi, AJI Jakarta telah menerima laporan dari empat jurnalis yang mengalami intimidasi, kekerasan dan penghalang-halangan kerja peliputan yang dilindungi oleh Undang-Undang Pers,” kata Ketua AJI Jakarta, Asnil Bambani dalam keterangan tertulisnya kepada BBC News Indonesia.

Dari hasil konfirmasi dan klarifikasi, korban kekerasan menimpa jurnalis Kompas.com, Nibras Nada Nailufar, yang diduga mengalami intimidasi saat merekam perilaku polisi yang melakukan kekerasan terhadap seorang warga di kawasan Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Selasa (24/09) malam.

“Dalam peristiwa ini, polisi melarang korban merekam gambar dan memaksanya menghapus rekaman video kekerasan. Nibras bahkan nyaris dipukul oleh seorang polisi,” lanjut Asnil.

Kekerasan juga terjadi terhadap jurnalis IDN Times, Vanny El Rahman. Berdasarkan laporan AJI Jakarta, Vanny dipukul dan diminta menghapus foto dan video rekamannya mengenai kekerasan yang dilakukan polisi terhadap demonstran di sekitar flyover Slipi, Jakarta.

Kemudian, aparat kepolisian juga diduga memukul dan menendang jurnalis Katadata, Tri Kurnia Yunianto. Padahal saat itu Kurnia telah menunjukkan identitas pers, tulis laporan AJI Jakarta.

Di lokasi lainnya, terjadi pengrusakan terhadap mobil yang digunakan jurnalis Metro TV, Febrian Ahmad oleh massa yang tidak diketahui.

Ketua AJI Jakarta, Asnil Bambani mengingatkan kembali bahwa jurnalis dalam menjalankan tugasnya dilindungi oleh Undang Undang Pers. Setiap orang yang menghambat kerja junalis bisa terancam pidana penjara 2 tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.

“Semua pelaku kekerasan terhadap jurnalis harus diproses hukum untuk diadili hingga ke pengadilan,” kata Asnil.

Berlangsung sampai malam hari’

Menanggapi rangkaian kejadian dalam demonstrasi tersebut, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Dedi Prasetyo, memaparkan ada pola aksi unjuk rasa yang terjadi di Indonesia.

“Demo damai itu dari jam 10 sampai dengan 18 WIB. Bila betul-betul disampaikan dengan baik dapat dipastikan tidak ada ekses baik korban dan kerugian-kerugian materil yang diakibatkan,” kata Dedi dalam keterangan tertulis.

Lebih lanjut, Dedi menulis, jika aksi unjuk rasa berlangsung sampai lebih dari pukul 18.00 WIB, “dapat dipastikan bukan demonstrasi tapi sudah menjelma/ menjadi rusuh”.

“Dan dapat dipastikan akan timbul korban baik dari masyarakat dan aparat serta terjadi tindakan-tindakan anarkis secara sistematis,” katanya.

Setelah peristiwa ini terjadi, kata Dedi, akan tersebar luas konten-konten berita bohong. “Ini saya amati berbasis data-data yang saya miliki selama di Humas,” jelas Dedi.

Sejauh ini kepolisian telah menangkap 94 orang dalam demonstrasi di sekitar Gedung DPR/MPR pada Selasa (24/09).

“Kita sudah amankan beberapa orang, itu lebih kurang jumlahnya sebanyak 94 orang,” kata Kapolda Metro Jaya Irjen Gatot Eddy Pramono.

Dari 94 orang itu, diungkapkan Gatot, salah satunya kedapatan membawa bom molotov yang diamankan oleh Polres Metro Jakarta Barat.

“Salah satu yang sudah kita tangkap bawa molotov adalah seorang pelajar yang sudah kita amankan di Polres Jakbar,” tuturnya.

Bagaimana aturan waktu dan penanganan aksi demonstrasi?

Penanganan aksi diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI No. 7/2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum.

Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) telah diatur pelaksanaan waktu dan tempat mengenai unjuk rasa. Di tempat terbuka aksi unjuk rasa yang dibolehkan antara pukul 06.00 sampai dengan 18.00.

Sementara di tempat tertutup antara pukul 06.00 sampai dengan 22.00.

Namun, ketika aksi tak mengikuti waktu tersebut, berdasarkan aturan ini, aparat kepolisian dapat menghentikannya dengan sejumlah tahapan dengan cara persuasif, dan ‘upaya paksa’ sebagai jalan terakhir.

Upaya paksa ini kemudian diatur dalam Pasal 28 di mana polisi harus menghindari aksi kekerasan.

Pasal 28

Dalam melakukan tindakan upaya paksa harus dihindari terjadinya hal-hal yang kontra produktif, antara lain:

tindakan aparat yang spontanitas dan emosional, mengejar pelaku, membalas melempar pelaku, menangkap dengan tindakan kekerasan, dan menghujat;

keluar dari ikatan satuan atau formasi dan melakukan pengejaran massa secara perorangan;

tidak patuh dan taat kepada perintah penanggungjawab pengamanan di lapangan sesuai tingkatannya;

tindakan aparat yang melampaui kewenangannya;

tindakan aparat yang melakukan kekerasan, penganiayaan, pelecehan, melanggar HAM;

melakukan perbuatan lain yang melanggar ketentuan peraturan perundangundangan.[source]

Berita Terkait

Kejaksaan Negeri Bantaeng: Waspada Nomor Nomor Penipuan Yang Mengatasnamakan Kajari dan Para Kasi
Kajari dan Jajaran Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Bantaeng, Mengikuti Arahan Jamintel Kejagung RI
PB SEMMI Apresiasi Kebijakan Kementrian P2MI : Optimasilasi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia
Rapat Kerja Anggota DPRD Bantaeng 2024, Narasumber: “Jangan Coba Coba Korupsi..!!!”
Polisi Tembak Polisi: Kasat Reskrim Tewas Ditembak Kabag Ops
Ini Identitas 2 Tukang Ojek yang Tewas Ditembak KKB di Papua
2 Tukang Ojek Tewas Ditembak KKB
5 Dewas KPK Resmi Terpilih, ini Daftar Nama dan Perolehan Suaranya

Berita Terkait

Kamis, 28 November 2024 - 15:49

Kejaksaan Negeri Bantaeng: Waspada Nomor Nomor Penipuan Yang Mengatasnamakan Kajari dan Para Kasi

Selasa, 26 November 2024 - 11:02

Kajari dan Jajaran Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Bantaeng, Mengikuti Arahan Jamintel Kejagung RI

Senin, 25 November 2024 - 18:30

PB SEMMI Apresiasi Kebijakan Kementrian P2MI : Optimasilasi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

Jumat, 22 November 2024 - 13:32

Rapat Kerja Anggota DPRD Bantaeng 2024, Narasumber: “Jangan Coba Coba Korupsi..!!!”

Jumat, 22 November 2024 - 13:03

Polisi Tembak Polisi: Kasat Reskrim Tewas Ditembak Kabag Ops

Berita Terbaru