“Selamatkan Demokrasi Dari Para Demagog”
Oleh: Ksatriawan Zaenuddin, M.Si.
Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Pancasakti Makassar
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang akan berlangsung pada 27 November 2024, menjadi momen penting bagi masyarakat, termasuk di Kabupaten Bantaeng.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pilkada adalah kesempatan untuk memilih pemimpin yang mampu membawa perubahan nyata melalui pengalaman, rekam jejak dan komitmen yang jelas.
Namun, dalam praktiknya, proses ini sering kali dirusak oleh fenomena demagogi dengan narasi populisme-nya, tidak hanya melemahkan demokrasi, tetapi juga mengaburkan substansi pemilihan itu sendiri.
Kabupaten Bantaeng, yang dikenal sebagai Butta Toa, kini berada ditengah persaingan dua pasangan calon, yakni M. Fathul Fauzy Nurdin – Sahabuddin dengan Nomor Urut 1 dan Ilham Syah Azikin – Nurkanita Maruddani Kahfi dengan Nomor Urut 2.
Kedua kandidat telah melewati tahapan pemaparan visi, misi dan program kerja secara formal.
Pertanyaannya kemudian apakah kita telah memanfaatkan kesempatan ini untuk mengenali, mengetahui dan menganalisis secara kritis dan bahkan pribadi dari setiap paslon tersebut?
Ataukah kita saat ini terjebak dalam narasi populis para demagog yang hanya menyenangkan kita dengan janji-janjinya? Dengan semboyan perubahannya atau dengan mantra-mantaranya?
MANTRA PARA DEMAGOG
Istilah ini bukanlah sesuatu hal yang baru, sejak Zaman Yunani Kuno dikenal dengan demos (rakyat) dan Agogos (pemimpin), yang mengacu pada penghasutan massa untuk tujuan politiknya.
Seperti cerita Peisistratos, tiran Yunani, yang dengan licik memanfaatkan perjuangan petani untuk merebut kekuasaan dan menyenangkan rakyat, tetapi dikemudian menjalankan pemerintahan sebagai tiran.
Ini juga pernah dituliskan oleh Mahfud MD dalam Dominasi Kaum Demagog (1997) menyebut demagog sebagai agitator-penipu yang berpura-pura memperjuangkan rakyat padahal demi kekuasaan pribadi, dengan janji manis untuk mendapat dukungan, namun setelah berkuasa melupakan rakyatnya.
Cara demagog ini sangatlah sederhana, menurut Trias Kuncahyono bahwa demagog tampil bijak dan berwibawa, tetapi memanipulasi emosi massa untuk kepentingan pribadi.
Para demagog ini sangat berbahaya seperti ujaran dari Michael Signer dalam Demagogue: The Fight to Save Democracy from Its Worst Enemies (2009) yang merusak demokrasi dengan hoaks dan polarisasi, memutarbalikkan fakta dan menyesetkan aspirasi rakyat.
Dan narasi yang sering dimainkan oleh Demagog disebut dengan Populisme. Robert W. Hefner, populisme ini muncul dari ketidakpuasan terhadap sistem, mendorong masyarakat mendukung narasi sederhana yang memposisikan rakyat melawan elite, melawan pejabat publik dan membuat hilangnya kepercayaan publik terhadap penyelenggara.
MENGADU DOMBA RAKYAT DENGAN PEJABATNYA
Contoh praktik para demagog adalah membenturkan dengan masyarakat dengan pemerintah setempat, membenturkan masyarakat dengan penyelenggara pemilu.
Menganggap semua hal tidak dapat dipercaya, selain dari kelompoknya. Mereka menganggap bahwa sesuatu yang bukan darinya adalah salah dan tidak benar. Yang mengklaim kebenaran dan perubahan sesuatu yang dapat dan mampu diusahakan hanya dengan dirinya dan kelompoknya.
Hal ini lah yang menjadi sasaran para demagog untuk memuluskan ambisi tiraninya. Memanipulasi opini publik, mengobarkan emosi demi menyasar simpati masyarakat tanpa memberi solusi subtansial. Kampanye idealnya menjadi ruang edukasi politik, dimana kandidat diuji visi dan programnya secara terbuka.
Namun kenyataannya, kampanye sering kali menjadi ajang promosi pribadi yang dangkal.
Pendekatan populis dan hiburan mendominasi, sajian kampanye yang sarat joget-joget semata, kampanye untuk mensosialisasikan program baik secara umum atau teknis malah fokus mengkritik lawannya secara tak berdasar, mengaburkan diskusi tentang isu-isu mendesak seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Para kandidat yang berorientasi pada pencitraan ini menghilangkan esensi kampanye dan tidak memberikan contoh bagi masyarakat dalam Pendidikan Politik dimasa depan.
PESAN UNTUK PEMILIH
Jelang pemungutan suara yang tinggal menghitung hari sejak tulisan ini dibuat, masyarakat Bantaeng perlu menyadari pentingnya memilih secara bijak.
Menghindari fanatisme buta dan memeriksa fakta adalah langkah awal untuk memastikan pemimpin yang terpilih benar-benar layak.
Tidak cukup hanya terinspirasi oleh narasi atau sosok karismatik, pemilih harus berani mengkritik, menganalisis dan mempertanyakan program kerja setiap kandidat.
Sebagai pemilih muda, kita memiliki tanggung jawab besar untuk melindungi demokrasi dari manipulasi.
Jangan biarkan janji populis tanpa dasar atau retorika kosong memengaruhi pilihan kita.
Jangan biarkan kampanye dengan muatan joget-joget semata mengisi demokrasi kita.
Pilihlah yang berintegritas, bermoral dan berkomitmen terhadap pembangunan daerah itu dilihat dari latar belakang yang bersih.
Sebab sejak lama, oleh Plato dan Aristoteles telah menyarankan politik adalah upaya menciptakan kehidupan yang baik (en damonia), bukan sekadar alat kekuasaan.
Dengan ini, kita harus tahu mana calon pemimpin yang layak dan mana calon pemimpin yang manipulatif.
Sebab Pilkada ini bukan tentang siapa yang memimpin, tetapi juga tentang bagaimana kita sebagai masyarakat menjalankan hak demokrasi dengan bijak.
Saatnya kita berdiri bersama, kritis terhadap narasi yang menyesatkan.
Hanya dengan cara ini, kita dapat mewujudkan tatanan sosial yang baik, berkeadilan dan berkelanjutan.
Saat ini mari mengidentifikasi diri, apakah pilihan kita telah tepat berdasarkan kesadaran diri? Ataukah sedang tersesat oleh mantra-mantara para demagog?(**)