Oleh : Patauntung, S.H.
(Pemimpin Redaksi Beritasulsel.com)
“Pers adalah instrumen paling baik dalam pencerahan dan meningkatkan kualitas manusia sebagai makhluk rasional, moral, dan sosial,” Thomas Jefferson. _________________
SAAT ini dunia berada di era revolusi industri 4.0, yang ditandai dengan perkembangan luar biasa di bidang teknologi internet. Semua lini berevolusi menyesuaikan diri terhadap perubahan zaman, termasuk Pers Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dari media mainstream dengan lahirnya media online yang kini mewarnai pers Indonesia. Menjadi hal yang tidak revolusioner dan visioner jika di era kebebasan pers ini tidak secara bijak menggunakan penegakan hukum (law enforcement) untuk menjawab pemberitaan yang disajikan oleh pers.
Mengapa? Sebab ruang-ruang keterbukaan informasi publik selain di atur dalam undang-undang, juga ada ruang untuk menyelesaikan pemberitaan yang menyangkut institusi, lembaga, maupun personal.
Ruang itu diatur dalam UU Pers No. 40 Tahun 1999 dimana sejatinya pers dan seluruh komponen (piranti) media pers baik itu jurnalis (wartawan) maupun perusahaan pers itu sendiri taat hukum.
Semua itu diatur dalam Ketentuan Umum UU Pers No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang memuat soal hak jawab, hak tolak, hak koreksi, kewajiban koreksi, kode etik jurnalistik, termasuk soal pembredelan atau pelarangan penyiaran adalah penghentian penerbitan dan peredaran atau penyiaran secara paksa atau melawan hukum.
Pers Indonesia adalah Representasi kedaulatan rakyat (people sovereignty) sebagai pemegang kedaulatan di negeri ini. Indonesia adalah negara hukum di mana rakyatnya berdaulat berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila.
Kedudukan pers dalam UUD 1945 diatur dalam Pasal 28 yang menyatakan bahwa kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan sebagaimana di tetapkan dengan undang-undang.
Selain itu kebebasan pers juga diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang ini menyatakan bahwa kemerdekaan pers merupakan hak asasi warga negara.
Beberapa ketentuan dalam undang-undang tersebut, diantaranya ; Pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran. Pers nasional berhak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Pers nasional memiliki peranan penting dalam memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mengembangkan pendapat umum, pers nasional dapat berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Pers nasional juga dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
Karena Pers Indonesia adalah representasi publik, hal ini mengukuhkan posisinya sebagai fourth estatet (kekuatan ke-empat setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif) yang termanifestasi dalam trias politika.
Sebab itu Pers Indonesia memiliki tanggungjawab besar terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara yang adil, makmur, sejahtera dan berkeadilan.
Ruang hak jawab adalah salah satu ruang yang diberikan oleh undang-undang kepada setiap warga negara apabila merasa suatu pemberitaan tidak sesuai fakta ataupun membuat ‘ketidaknyamanan’ secara personal, lembaga maupun institusi. Sebab, sejatinya pers menjalankan fungsi sosial kontrol.
Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Kemudian ada juga hak koreksi yakni hak setiap orang untuk mengoreksi atau memberitahukan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
Dalam UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers kewajiban koreksi ada pada media yang memberitakan, termaktub dalam angka 14 pada ketentuan umum, bahwa kewajiban koreksi adalah keharusan atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan.
Alih-alih menggunakan penegakan hukum yang telah diatur oleh undang-undang, justru banyak peristiwa intimidasi dan pengekangan kebebasan pers melalui tindakan di luar dari jalur peraturan perundang-undangan yang ada. Bahkan tidak sedikit jurnalis Indonesia menerima kekerasan karena profesinya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dikutip dari laman Aliansi Jurnalis Indonesia, setidaknya mendokumentasikan 89 kasus serangan terhadap jurnalis dan media sepanjang 2023. Jumlah ini menjadi yang tertinggi dalam 10 tahun sejak 2014, menjadi alarm bahaya bagi masa depan kebebasan Pers Indonesia.
Data lainnya dari laman tempo.co.id, 763 kasus terhadap jurnalis sejak 2006 (Aliansi Jurnalis Independen), 10 wartawan Indonesia terbunuh saat bertugas sejak 1996, 124 urutan Indonesia di banding negara-negara lain dari aspek kebebasan pers (Reporters Without Border, 2019).
Data sekunder ini menunjukkan masih tingginya angka kekerasan yang menimpa para jurnalis Indonesia yang melaksanakan tugasnya, kendati telah mendapatkan perlindungan UU Pers No. 40 Tahun 1999.
Untuk itu, atas nama Beritasulsel.com kami bersama jajaran menegaskan “Stop Kekerasan Terhadap Jurnalis”.
Sebagai penutup dari tulisan ini, berikut kutipan, Amy Goodman seorang jurnalis radio dan penulis Amerika lulus dari Universitas Harvard 1984 ; “Wartawan bukanlah penghibur. Kami adalah reporter. Kami pergi ke tempat-tempat yang tidak populer. Kami menyiarkan suara-suara yang kontroversial. Kami di sini bukan untuk memenangkan kontes popularitas. Kami di sini untuk meliput isu-isu penting bagi masyarakat demokratis.” –
Sulawesi Selatan, 5 September 2024