JAKARTA– Sidang Penetapan Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesa berlangsung secara luring. Mulai Senin s/d Jumat (19 Agustus-23 Agustus 2024) di Holiday Inn & Suites Jakarta Gajah Mada, jalan Gajah Mada No. 211 Glodok, Kec. Taman Sari, Kota Jakarta Barat.
Sidang Penetapan ini dibuka oleh Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek RI Dr. Hilmar Farid M. Hum. Sementara yang mewakili Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Provinsi Sulsel, Dra Purnamawati M Hum.
Provinsi Sulawesi Selatan mengusulkan enam item WBTB untuk dimajukan dalam sidang penetapan yakni Baju Tradisional Toraja, Genrang Labobo Wajo, Masara Majjaga Sando Batu Sidrap, Gantala Jarang, Cemme Passii dan Tammu Taung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Untuk baju tradisional Toraja kondisi karya budaya tersebut masih bertahan, yang merupakan kemahiran kerajinan tradisional di mana persebarannya di Toraja Utara.
Sementara Kabupaten Wajo, mengusulkan Genrang Labobo sebagai WBTB. Genrang Labobo adalah salah satu warisan tradisi masyarakat pesisir yang merupakan suatu hasil karya manusia yang lahir dari tradisi masyarakat lokal pada komunitas tertentu. Genrang Labobo adalah tradisi masyarakat Dusun Labobo, Desa Lowa, Kecamatan Tanasitolo. Masyarakat Labobo mata pencaharianya dua musim yaitu bertani dan nelayan. Bahan utama Genrang Labobo dari kayu pohon lokal.
Genrang Labobo muncul sekitar abad XIX pada masa pemerintahan La Tenri Oddang Pero Arung Peneki Datu Larompong (Arung Matoa Wajo XLIV) yang memerintah pada tahun 1926-1933.
“Pada saat terjadi musim kemarau yang berkepanjangan, masyarakat tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan. Dengan kondisi itu, masyarakat berinisiatif membuat hiburan untuk membuat suasana hati masyarakat senang dan tidak bersedih hati.
Masyarakat di sana membuat suatu acara “siparoa-roa” dengan membuat ayunan (mattojang-tojang) dan Mappadendang. Seiring berjalannya waktu, pada saat masyarakat melakukan pesta panen dan nelayan, mereka lalu berkumpul dan memainkan genrang Labobo sesuka hati mereka sebagai suatu sarana hiburan masyarakat.
Budayawan Wajo, Drs. Sudirman Sabang, MH, yang juga Kabid Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Wajo yang ikut dalam sidang WBTB itu, menegaskan, upaya pelestarian Genrang Labobo sudah terdaftar dalam PPKD Kabupaten Wajo serta Peraturan Daerah No. 13 Tahun 2021 tentang Pemajuan Kebudayaan Daerah.
“Pengembangan yakni pembentukan sanggar seni yang akan mengembangkan Genrang Labobo yaitu Sanggar Latearimusu serta memasukkan dalam kurikulum sekolah sebagai ekstrakurikuler,” ujar Sudirman Sabang di Jakarta, Selasa, 20 Agustus 2024.
Sementara itu, Kabupaten Sidrap mengusulkan Masara Majaga Sando Batu adalah salah satu kearifan lokal yang telah terinventarisasi , terdokumentasi secara tertulis dan visual serta telah tercatat dalam DAPOBUD. Selain itu, dilakukan juga upaya memperkenalkan budaya ini ke masyarakat luas melalui penulisan buku.
Masara dalam Bahasa Indonesia berarti sangat sibuk, nama Masara merujuk pada ‘situasi yang sangat sibuk’ ketika ritual adat tersebut dilaksanakan. Kesibukan dimulai dari tahap ‘Masombung Bola’ sampai dengan selesainya ritual tersebut. Prosesi adat Masara adalah perpaduan antara adat-istiadat komunitas Sando Batu dan ajaran Islam. Dilaksanakan sebelum masuk Islam di Sidenrang Rappang tahun 1608. Proses ritual adat berlangsung selama 40 hari.
Untuk Kabupaten Jeneponto mengusulkan Gantala Jarang. Apa itu Gantala Jarang, yakni merupakan makanan tradisional masyarakat Jeneponto yang berbahan dasar daging kuda dengan bumbu sederhana namun rasanya nikmat bagi masyarakat Jeneponto. Bahkan pada setiap acara sampai sekarang ini, apabila tidak menghidangkan Gantala Jarang maka akan menjadi bahan cibiran bagi masyarakat Jeneponto. Bagi masyarakat Jeneponto daging yang dianggap spesial hanya daging kuda saja.
Lalu, Kabupaten Bone mengusulkan Cemme Passii merupakan tradisi turun temurun masyarakat dusun Ulo-ulo, Desa Ulo-ulo, Kecamatan Tellu Siattingnge. Tradisi ini ditujukan untuk mencegah kemarau berkepanjangan.
Dan, Kabupaten Pangkep mengusulkan Temmu Taung. Dalam bahasa Makassar yang artinya satu tahun penuh, tradisi Temmu Taung Pulau Pajenekang dilaksanakan setiap satu tahun sekali di pulau Pajenekang, Desa Mattiro Deceng, Kecamatan Liukang Tuppabiring. Ritual ini sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka.
Berawal ketika pemimpin mereka, Bantang Haruna Rasid, gallarang Pajenekang pertama, dan Syekh Naiman Petta Rabbu ditahan oleh Belanda pada 1907 lantaran mengibarkan bendera merah putih di perahu pinisi mereka milik mereka.
Masyarakat Palau Pajenekang kemudian bernazar, jika gallarang atau pemimpin mereka dibebaskan oleh Belanda , maka penduduk akan mengadakan acara selamatan (songka bala) dengan bersiarah ke kuburan Datu Sulaiman dan membawa sebaki kue yang terdiri dari 12 macam untuk setiap rumah di Pulau Pajenekang.
Sekembalinya Gallarang Bantang Harun Rasyid dan Syekh Naiman Petta Rabbu dari tahanan Belanda, masyarakat menyambutnya dengan menyelenggarakan syukuran atas terkabulnya doa mereka. Mereka juga menggelar ritual songka bala dengan berziarah ke kuburan Datuk Sulaiman dengan membawa sebaki kue manis.(red)