Beritasulsel.com – Ketua Aliansi Masyarakat Bersatu (Asatu) Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan (Sulsel), Trywahyudi Nur, mengecam keras adanya pungutan yang dilakukan oleh Sekertaris Desa Bontomanai (Sekdes) pada periode pemerintahan sebelumnya yakni pada pemerintahan Kepala Desa Lukman Saleh.
“Sejak turunnya Dana Desa (DD) yang digelontorkan oleh pemerintah dalam jumlah yang tidak sedikit, maka segala bentuk pungutan di kantor desa sudah ‘diharamkan’ termasuk pengurusan surat surat peralihan tanah,” ungkap Try sapaan akrab Trywahyudi Nur yang ditemui usai menggelar unjuk rasa di depan kantor Dinas PMD Bulukumba, Jumat (27/1/2023).
“Bila ada pungutan pungutan yang dilakukan di kantor desa setelah turunnya Dana Desa, maka itu patut diduga keras adalah pungutan liar (Pungli). Untuk itu ssya mengecam keras adanya pungutan di kantor Desa Bontomanai dan saya meminta kepada tim Saber Pungli agar turun tangan dan menyeret pelaku ke ranah hukum mempertanggung jawabkan perbuatannya,” tegas Try menandaskan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Diberitakan sebelumnya, Sekertaris Desa Bontomanai, Muhammad Ridwan, diduga telah melakukan Pungutan Liar (Pungli) pada pemerintahan sebelumnya yakni pemerintahan Kepala Desa Bontomanai Lukman Saleh.
Menurut sumber, warga yang mengurus surat jual beli tanah di kantor desa Bontomanai pada pemerintahan Lukman Saleh, dikenakan pembayaran oleh Sekdes Bontomanai.
Setiap warga yang mengurus jual beli tanah di kantor desa Bontomanai, dikenakan biaya dan saya duga itu pungli karena tidak ada aturan yang mengatur kemudian uangnya tidak masuk ke kas negara,” ungkap sumber kepada beritasulsel.com baru baru ini.
Beberapa warga yang dikonfirmasi membenarkan hal itu, salah satunya adalah Nirma warga Dusun Macinna, Desa Bontomanai.
Nirma mengatakan telah membeli sebidang tanah dengan harga Rp30 juta lalu diminta membayar biaya peralihan atau biaya surat permufakatan jual beli tanah sebanyak Rp4 juta oleh Sekdes Bontomanai.
“Iya benar. Jadi begini, saya beli tanah perumahan milik mertuaku dengan harga Rp30 juta. Saat saya urus surat surat jual belinya di kantor desa Bontomanai, saya disuruh membayar Rp4 juta oleh Sekdes Bontomanai,” ujar Nirma.
Hal yang sama diungkapkan oleh Sanuddin warga Jalan Perintis, Desa Bontomanai, dia juga diminta membayar Rp3 juta oleh Sekdes Bontomanai saat dia membeli sebidang tanah kebun dengan harga Rp50 juta.
“Saya beli tanah kebun Rp50 juta, lalu saya ke kantor desa mengurus surat suratnya surat jual belinya lalu Pak Ride suruh saya membayar Rp3 juta, katanya untuk biaya surat suratnya (surat permufakatan jual beli tanah), saya bayarlah waktu itu 3 juta, lalu belakangan dia minta lagi Rp500 ribu katanya untuk biaya balik nama pajaknya, jadi saya bayar lagi 500 ribu jadi total keseluruhan Rp3,5 juta,” ungkap Sanuddin.
Muhammad Ridwan yang dikonfirmasi menampik hal itu, dia mengatakan bahwa dirinya hanya memungut 3 persen saja dari harga tanah yang diperjualbelikan oleh masyarakat.
“itu tidak benar. Yang benar, masyarakat diminta membayar hanya 3 persen saja,” ungkap Ride sapaan akrab Muhammad Ridwan saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (26/1/2023).
Lebih lanjut Ride mengatakan bahwa hal itu adalah kebijakan kepala desa yang menjabat saat itu yakni Lukman Saleh, dan kata Ride, hal itu bukanlah pungutan liar (pungli) sebagaimana informasi yang beredar.
“Kalau sepengetahuan saya, itu bukan Pungli tapi (uang) persaksian, uang tersebut tidak dimasukkan ke kas negara tapi diberikan kepada kepala desa (Lukman Saleh). Jadi begini, masyarakat bayar ke saya lalu saya berikan 0,5 persen kepada kepala dusun, selebihnya saya serahkan kepada kepala desa,” kata Ride menerangkan.
“Saat ini di Desa Bontomanai tidak ada lagi pungutan seperti itu, karena kepala desa yang sekarang ini (Risman Lagoe) memberi kebijakan agar tidak dilakukan lagi pungutan terhadap masyarakat yang mengurus surat jual beli tanah,” katanya menandaskan.
Hingga berita ini diterbitkan, mantan kepala desa Bontomanai Lukman Saleh belum berhasil dikonfirmasi, (hs/bss).