Beritasulsel.com – Pimpinan DPRD Kota Parepare bersuara untuk meredam gejolak terkait rencana pendirian Sekolah Kristen Gamaliel di Kelurahan Watang Soreang, Kecamatan Soreang, Parepare.
Wakil Ketua DPRD Parepare, M Rahmat Sjamsu Alam mengemukakan pandangannya terhadap pendirian sekolah itu, agar jangan lagi ada spekulasi atau polemik bernuansa rasa ketidakadilan, intoleran, diskriminatif, dan lain-lain.
RSA, akronim Ketua DPC Partai Demokrat Parepare ini, berpandangan semua pihak harus tetap mengacu pada peraturan perundangan berlaku.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Pada kesempatan ini izin saya memberikan pandangan terkait aturan untuk mendapat layanan perizinan pendirian sektor pendidikan. Ini semata-mata untuk menghindari terjadinya berbagai persepsi negatif yang menimbulkan rasa ketidakadilan, intoleran, diskriminatif, dan lain-lain seperti yang beredar saat ini terkait dengan rencana didirikannya salah satu sarana pendidikan di Kecamatan Soreang,” kata Rahmat.
Pertama, Rahmat mengulas tentang regulasi atau aspek yuridis perizinan pendirian lembaga pendidikan.
Perlu diketahui bahwa sebelum diundangkannya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja maka acuan atau pedoman dalam mendapatkan perizinan berusaha khususnya bidang pendidikan mengacu pada UU 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Di mana pada pasal 2 dan 25 dijelaskan bahwa semua sektor penanaman modal yang akan melakukan kegiatan usaha wajib memperoleh izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dari instansi yang memiliki kewenangan.
“Dengan demikian dapat disimpulkan pendidikan merupakan bidang usaha yang wajib mendapat izin,” tegas Ketua MD KAHMI Parepare ini.
Selanjutnya Rahmat mengulas tentang diterbitkannya PP Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik dan dalam pasal 88 ayat 1 memerintahkan Menteri untuk menyusun dan menetapkan standar perizinan berusaha di sektornya masing-masing.
Tindaklanjut dari PP itu maka terbitlah Permendikbut Nomor 25 Tahun 2018 tentang Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Sektor Pendidikan dan Kebudayaan dan dalam pasal 3 sangat jelas menyatakan bahwa pelaku usaha yang akan melakukan usaha sektor pendidikan dan kebudayaan wajib memperoleh izin usaha terintegrasi secara elektronik. Maka sejak 2018 semua sektor usaha wajib memperoleh izin usaha yang terintegrasi secara elektronik termasuk sektor pendidkan.
Namun dengan ditetapkannya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terjadi beberapa perubahan perubahan tentang perizinan berusaha khususnya sektor pendidikan yang tidak lagi secara umum merupakan jenis usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 65 yang menyatakan bahwa perizinan sektor pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha dan ketentuan lebih lanjut sektor pendidikan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Tindak lanjut dari dari perintah UU Nomor 11 Tahun 2020 maka terbitlah PP Nomor 5 Tahun 2021 tetang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Resiko di mana pada pasal 134 ayat 1 makna Dapat pada dasarnya kewajiban memenuhi Perizinan Berusaha Berbasis Resiko tidak berlaku pada sektor pendidikan dan kembali ke peraturan perundang-undangan bidang pendidikan kecuali lembaga pendidikan formal di Kawasan Ekonomi Khusus yang diatur sendiri. Parepare bukan Kawasan Ekonomi Khusus.
“Dengan demikian terbitnya PP ini maka PP Nomor 24 Tahun 2018 dan Permendikbud 25 Tahun 2018 tidak berlaku lagi,” ungkap Rahmat.
Olehnya itu, kata dia, melalui Kementerian Pendidikan mengeluarkan Surat Edaran Nomor 26 Tahun 2021 yang mengembalikan proses perizinan pendidikan kembali ke aturan sebelumnya yaitu Permendikbud 81 Tahun 2013 tentang Pendirian Satuan Pendidikan Nonformal, Permendikbud 36 Tahun 2014 tentang Pedoman Pendirian, Perubahan dan Penutupan Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Permendikbud Nomor 84 Tahun 2014 tentang Pendirian Satuan Pendidikan Anak Usia Dini, dan terakhir Permendikbud Nomor 31 Tahun 2014 tentang kerjasama penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan oleh lembaga pendidikan asing dengan lembaga pendidikan di Indonesia.
“Akhirnya pemberian pelayanan perizinan pendidikan diserahkan kembali kepada Pemerintah Daerah (Dinas Pendidikan) sesuai dengan kewenangannya dengan tetap mengacu pada Permendikbud di atas dan tetap wajib memiliki Nomor Induk Berusaha atau NIB yang diterbitkan melalui sistem OSS,” tandas RSA. (*)