Parepare, Sulsel – Terkait pernyataan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Parepare pada Rabu, 23 Maret 2022, tentang tidak adanya pencemaran pada aktivitas bongkar muat batu bara, Kabid Penataan dan Peningkatan Kapasitas Lingkungan DLH Kota Parepare, Jenamar Aslan memberi penjelasan.
Ditemui Kamis, 24 Maret 2022, Jenamar mengungkapkan, sesuai Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.
Lebih lanjut Jenamar menjelaskan, atas kebijakan pemerintah limbah batu bara dikeluarkan dari golongan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Berdasarkan lampiran 14 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan, jenis limbah batu bara yang dihapus dari kategori limbah B3 adalah fly ash dan bottom ash (debu melayang dan debu jatuh) hasil pembakaran batu bara.
Dengan catatan, dua jenis limbah itu bersumber dari proses pembakaran batu bara pada fasilitas pembangkitan listrik tenaga uap PLTU atau dari kegiatan lain yang menggunakan teknologi.
Dikeluarkannya limbah batu bara dari golongan B3 ini sudah dikaji dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan limbah ini bisa sangat bermanfaat. Dapat dibuat bahan bangunan pengganti bahan baku konstruksi (semen pozzolan) dan bisa dijadikan untuk restorasi tanah. “Berarti ada nilai ekologi juga,” kata Jenamar.
Menurutnya, hasil pengamatan pada Minggu, 20 Maret 2022 terhadap aktivitas bongkar muat di dermaga Pelabuhan Lontangnge, Parepare, tidak ditemukan adanya batu bara yang mencemari wilayah perairan.
Pada Senin 21 Maret 2022, DLH Kota Parepare berkoordinasi dengan PT Pelindo Parepare agar residu-residu yang ada di dermaga tidak langsung disiram. Tapi dimasukkan dalam wadah, dan itu sudah dilaksanakan oleh pihak PBM.
“Jadi sekali lagi yang paling terpenting adalah koordinasi dari pihak-pihak pelaksana agar lebih awal dapat dilakukan pemantauan di lapangan guna menghindari potensi pencemaran dan kerusakan lingkungan,” tandas Jenamar. (*)