BUKUKUMBA, Beritasulsel.com – Ratusan masyarakat adat dan puluhan aktivis di kabupaten Bulukumba yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat (FPR) dan Agra Kabupaten Bulukumba, menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor Bupati, Senin (10/12/2018).
Demonstrasi tersebut merupakan rangkaian peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional 2018.
Dalam aksi sempat diwarnai ketegangan dan baku dorong antara petugas keamanan dan massa yang hendak masuk ke halaman kantor Bupati untuk menyuarakan aspirasinya. Beruntungnya, hal tersebut mampu diredam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Adapun tuntutannya, ratusan massa tersebut masih terkait tentang polemik warga dengan Perusahaan karet PT. Lonsum Tbk.
Mereka menentang praktek kriminalisasi yang dilakukan pihak perusahaan PT Lonsum yang menuduh 14 orang masyarakat adat Kajang melakukan penyerobotan yang dikatakan bisa dibuktikan merupakan tanah Ulayat masyarakat adat kajang.
“Sangat ironis, kawan kawan petani kita dilaporkan oleh pihak Lonsum melakukan penyerobotan, dan saat ini sudah ditersangkakan, padahal apa yang dilaporkan pihak Lonsum tidak sesuai dengan apa yang dilakukan teman teman dilapangan,” ujar Dhian Natagawa salah satu koordinator aksi.
Massa juga mengatakan, ada beberapa kejanggalan dalam dugaan kasus kriminalisasi para petani tersebut. “Ke 14 kawan petani kami ditetapkan tersangka dengan jeratan pasal 167, padahal dilapangan kami menemukan fakta tidak seperti yang terdapat pada pasal tersebut. Kawan kami hanya hanya mempertahankan haknya dalam tanah Ulayat masyarakat adat itu,” jelas Dian.
Selain itu, masyarakat dari kecamatan Bonto Bahari juga meneriakkan aspirasi soal lahan mereka yang kini masuk dalam kawasan taman Hutan Raya (Tahura). Begitu juga dengan rencana pembangunan terminal aspal curah yang mengancam keberlangsungan penghasilan masyarakat yang dominasi berprofesi sebagai nelayan dan petani rumput laut.
Sayangnya kata mereka, meski mendapat penolakan masyarakat, aktivitas tersebut tetap berlanjut karena mendapat dukungan dari pemerintah kabupaten yang ngotot melanjutkan pembangunan proyek tersebut.
Massa menyesalkan pemerintah hari ini yang hanya mampu melihat satu sisi dari investasi proyek semata tanpa mempertimbangkan tingkat kesejahteraan masyarakat, padahal menurutnya masyarakat setempat mampu menghasilkan 30 Miliar dalam setahun dari hasil bertani rumput laut.
“Artinya bahwa hari ini pemerintah masih menghamba pada investasi ketimbang suara keberlangsungan kesejahteraan di masyarakat,” teriak Rudy Tahas, ketua FPR Bulukumba.
Setelah bertahan berjam jam melakukan orasi, massa akhirnya ditemui oleh perwakilan pemerintah kabupaten, Asisten II setkab Djunaedi Abdillah yang menegaskan soal pihak polemik PT Lonsum sebagai penggugat telah melakukan kesepakatan pada 8 Agustus lalu dengan dua poin perjanjian.
Pertama, Kemendagri akan membentuk tim kecil dan melakukan pengukuran ulang.
Kedua mengembalikan hak masyarakat adat. Hal tersebut merupakan kesepakatan yang telah ditandatangani bersama.
“Kami pemerintah berharap masyarakat bisa bersabar menunggu tim kecil ini. Di Mendagri ada begitu banyak yang mereka tangani bukan hanya Bulukumba, Bupati juga terus melakukan persuratan ke Kemendagri menyampaikan apa yang terjadi di lapangan. Jadi mohon kita bersabar,” ujar Djunaedi dihadapan masyarakat.
Terkait aspal curah, dirinya menjelaskan tentang perjanjian kontrak antara perusahaan dan perusahaan AMDAL yang dikatakannya tidak berarti AMDAL itu selesai dan aspal curah itu bisa berjalan.
“Nanti kita lihat rekomendasinya apakah aspal curah ini bisa berjalan? Apakah sesuai tata ruang, apakah sesuai keinginan masyarakat kita, yang jelas semua peralatan yang ada di Bonto Bahari itu sudah ditarik kembali,” tandasnya.