Beritasulsel.com – Ada sebuah pertanyaan yang menggelitik bagi kalangan akademisi dan praktisi pendidikan; mengapa orang-orang yang sudah berpendidikan masih saja melakukan pelanggaran, korupsi misalnya?.
Ada semacam anggapan bahwa persoalan yang dihadapi oleh ummat manusia hari ini, bukan lagi disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan. Ada perkataan yang lazim bahwa tidak sulit mencari orang-orang pintar di Indonesia, tapi yang sulit adalah mencari orang jujur.
Contoh perilaku korupsi oknum pejabat yang notabenenya adalah orang-orang pintar merupakan cerminan bahwa persoalan hidup yang dialami oleh manusia bukan semata-mata soal tahu tidak tahu, bukan soal berpendidikan atau tidak, bukan soal memiliki ilmunya atau tidak, tapi soal sulitnya pengendalian diri. Sederhananya, tanyakanlah pada orang yang melakukan penyimpangan, pencuri misalnya, apakah mereka tidak tahu kalau mencuri itu dilarang, jawabannya mereka pasti tahu. Tanyakanlah kepada pezinah, apakah mereka tidak tahu kalau berzinah itu haram, pasti mereka tahu. Karena itu, secara umum kerusakan-kerusakan yang terjadi bukan lagi karena pelakunya tidak tahu, tapi karena ketidakmampuan mengendalikan dirinya. Apalagi saat ini, ilmu bukan lagi hal yang sulit untuk didapatkan, melalui beragam media; program-program acara di televisi, begitupula dengan media lain, akses video, audio, maupun berbagai situs web dapat kita jangkau dengan cepat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ini adalah salah satu bahan yang menarik untuk dijadikan tema evaluasi bagi diri kita. Mari kita menghitung-hitung, selama setahun ini (2018), berapa banyak keburukan yang kita lakukan karena memang kita tidak tahu kalau itu adalah keburukan, dan berapa banyak keburukan yang kita lakukan yang sebetulnya kita tahu kalau itu tidak boleh, tapi kita tetap melakukannya karena kita tidak sanggup mengendalikan diri kita.
Menghitung-hitung atau mengevaluasi diri inilah yang dalam Islam disebut sebagai muhasabah. Muhasabah berasal dari kata Arab hasiba-yahsabu-hisaban yang artinya menghitung atau mengkalkulasi. Secara bebas dapat pula diartikan sebagai introspeksi diri. Muhasabah atau evaluasi diri ini merupakan sebuah siklus kehidupan yang dibutuhkan untuk terus meningkatkan kualitas hidup manusia.
Setelah kita menghitung-hitung tingkat pengendalian diri kita, tema menarik lainnya yang layak menjadi bahan evaluasi diakhir tahun ini adalah pencapaian-pencapaian kita selama tahun 2018. Selama setahun ini mungkin ada pertambahan-pertambahan dalam kehidupan kita. Umur kita bertambah, harta kita mungkin bertambah, keluarga kita, anak-anak kita, jabatan atau pangkat kita, titel dan pendidikan kita, dan sebagainya.
Hitung-hitungannya adalah apakah setiap pencapaian-pencapaian itu, harta kita yang bertambah, titel kita dan yang lainnya itu memiliki pengaruh secara positif terhadap kualitas kemanusiaan kita baik secara vertikal maupun horisontal?.
Apa yang mungkin kita kejar, perjuangkan, dengan kerja keras dan pengorbanan untuk mencapainya. Lalu setelah kita mendapatkannya, apakah itu berpengaruh terhadap peningkatan kualitas ibadah kita?, apakah pencapaian itu sekaligus juga menambah nilai manfaat kita kepada orang lain?. Jika keberhasilan-keberhasilan yang telah kita torehkan selama setahun ini berbanding lurus terhadap peningkatan ketaatan atau ibadah kita (vertikal) dan manfaat kita kepada sesama manusia (horisontal), maka itulah pencapaian yang sesungguhnya. Akan tetapi apabila banyak hal yang kita capai dalam hidup ini, mulai dari karir sampai studi yang kita raih hingga keluar negeri, tapi itu semua tidak mempengaruhi peningkatan ibadah dan manfaat kita, maka sesungguhnya itu hanya kerugian. Kerugian karena pengorbanan dan kerja keras kita untuk mencapainya, akan tetapi setelah mendapatkannya, hasilnya tidak dapat mendongkrak peran-peran kita, baik sebagai hamba, maupun sebagai sesama manusia.
Tema ketiga yang layak menjadi bahan muhasabah kita diakhir tahun 2018 adalah orientasi kehidupan kita. Kesuksesan-kesuksesan yang selama ini ingin kita raih, peningkatan-peningkatan hidup yang sedang kita pacu, untuk apa?. Apakah agar kita lebih kaya dari yang lain, agar kita lebih berkuasa dari yang lain, agar hidup kita lebih mewah dari yang lain, agar kita lebih dihormati dari yang lain, atau agar strata sosial kita lebih tinggi dari yang lain. Mari kita bertanya, motivasi apa sebetulnya yang mendorong kita untuk melakukan mobilitas dan peningkatan-peningkatan taraf hidup. Apakah orientasi hidup kita didorong oleh semangat untuk mendapatkan superoritas personal yang sarat dengan egoisme, individualistis dan intrik rivalitas?. Jika iya, maka kita sebetulnya sedang membangun kebahagiaan yang megah namun rapuh. Rapuh karena kebahagiaan semacam itu tidak cukup memiliki daya tahan yang lama karena tidak dipikul dan dirasakan oleh banyak orang. Kesuksesan yang akan memiliki daya tahan adalah kesuksesan-kesuksesan yang orientasinya togetherness oriented, yaitu kebahagiaan-kebahagiaan yang ikut membahagiakan orang lain. Cita-cita dan raihan-raihan besar dalam hidup tidak hanya untuk ke”aku”an, tapi mengikutsertakan orang-orang sehingga misinya kaya dengan nilai berbagi. Mari kita menilai kecenderungan orientasi hidup kita selama ini!.
Tema lain yang pantas menjadi bahan evaluasi manusia diabad modern adalah susahnya menjadi orang yang mengalah. Padatnya penduduk, aktifitas yang tinggi serta kompetisi yang semakin tajam dapat membuat interaksi manusia rentan “gesekan-gesekan”. Karena itu kita melihat di jalanan, di kantor, hingga di dalam rumah, perdebatan-perdebatan hingga kontak fisik mudah terjadi. Sadarkah kita, kira-kira apa yang akan terjadi jika tidak ada orang yang mau mengalah dari semua “gesekan-gesekan” itu?. Mungkin setiap hari kita akan menyaksikan anarkisme di jalanan, kriminal dan kehancuran rumah tangga. Karena itu, ditengah-tengah modernitas dan kehidupan yang serba kompetitif, selain kita membutuhkan intelektual, kita juga sangat membutuhkan orang-orang yang rela mengalah, karena merekalah yang dapat merawat keberlangsungan hidup bersama. Orang-orang yang rela mengalah inilah yang dapat disebut sebagai salah satu penyumbang terbesar stabilitas keamanan. Mari kita menghitung-hitung, selama ini seberapa kuat dan rela kita menjadi orang yang mengalah?.
Tentu saja banyak hal yang dapat menjadi bahan evaluasi bagi orang-orang yang ingin selalu meningkatkan kapasitas dan kualitas hidupnya. Namun inilah yang dapat penulis dedikasikan sebagai salah satu bagian kecil dalam menata kehidupaan ummat manusia. Semoga tulisan singkat ini dapat menjadi salah satu nutrisi untuk jiwa-jiwa kita dalam menghadapi tahun-tahun berikutnya. Semoga bermanfaat. Allahu Waliyyu at-Taufiq.
Penulis: Muhlis Pasakai (Kepala SMK Muhammadiyah Sinjai