Beritasulsel.com – Pemilihan calon anggota DPRD kabupaten, Provinsi dan DPR RI sudah usai dan walau KPU belum menetapkan pemenangnya di partai masing masing tetapi sudah ada gambaran pemenang yang diperoleh dari hasil perhitungan suara di tiap TPS atau hasil rekapitulasi di tingkat desa kelurahan (PPS) atau di tingkat kecamatan (PPK).
Informasi yang dihimpun dari 3 dapil ditakalar bahwa perolehan satu kursi DPRD tidak segampang membalik telapak tangan tetapi harus ditebus dengan finansial yang besar, kalau tidak, jangan mimpi bisa berjuang untuk rakyat di DPRD.
Cuma saja karena hanya sebatas cerita yang berkembang atau Bawaslu yang dilengkapi PPL dan PTPS, tidak ada yang pernah melihat caleg membeli suara. Padahal kata sumber usai rekapitulasi di tingkat kecamatan dan KPU, dimana mana terdengar cerita bahwa perolehan satu kursi paling tidak Rp.300jt atau Rp600jt, itupun caleg yang punya garis tangan, tetapi kalau sebaliknya, uangnya hilang percuma.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Tetapi kata sumber ada juga caleg meraih kursi tanpa menghamburkan banyak duit tetapi yang didukung kekuasaan kemudian calegnya tega melakukan interfensi kepala sekolah PAUD, TK TPA dan kepala SD, SMP dengan mengatasnamakan bupati akan memberhentikan jika kemudian tidak memilih caleg bersangkutan
Dikatakan sumber bahwa masyarakah dewasa ini tidak memandang kemampuan seorang caleg bekerja di DPRD untuk rakyat nanti tetapi yang diutamakan adalah belanja satu hari.
Tidak menyadari bahwa anggota DPRD wajib untuk memperjuangakan rakyat. Bagi caleg kurang mampu kata sumber harus tersingkir dari caleg sebaliknya namun ada juga caleg yang banyak menghambur uang tetapi tidak juga berhasil meraih kursi parlemen.
Sumber mengaku mengetahui sistem politik dimasyarakat saat ini, sudah sangat buruk, entah sudah menjadi kebiasaan oleh caleg caleg itu sendiri, ruginya negara membiayai sosialisasi karena tak satupun kejahatan money politik pernah ditangkap Panwas.
Sumbrer bicara bukan tanpa fakta satu dari sekian banyak terdengar dilapangan bisa dicontohkan seorang warga mengaku kebagian Rp2jt dari beberapa caleg.
Bisa dibayangkan buruknya sistem politik dimasyarakat, padahal sososialisasi larangan money politik dilancarkan Bawaslu setempat hingga min satu hari pemilihan. Mungkin karena pelaksanaannya hanya di hotel hotel di Takalar atau di Makassar tetapi nyaris tak bermanfaat. Seorang tokoh masyarat yang minta jatidirinya dirahasiakan baru baru ini mengatakan jika seandainya orang buta tapi banyak uangnya lebih dipilih dari pada caleg sempuna tetapi tidak ada uangnya.
Pihak Bawaslu yang berusaha dikonfirmasi hingga berita ini diturunkan, belum berhasil
Penulis: Maggarisi Saiyye
Editor : Maggarisi Saiyye