Kemiskinan yang masih disoroti, pendidikan yang terus dikritisi, serta persoalan kesehatan yang kadang memprihatinkan adalah sederet daftar tema-tema klasik yang dianggap tak pernah usai menjadi perdebatan di negeri ini.
Problem kemiskinan, masalah kesehatan, dan karakter yang buruk, semua ini bukanlah sesuatu yang terproduksi secara spontan, melainkan hasil dari pembentukan sebuah habituasi secara kolektif. Orang Bugis mengatakan lele bulu te lele abiasang, artinya sekalipun gunung dapat berpindah, maka tidak dengan kebiasaan. Itu artinya kuatnya pengaruh kebiasaan pada diri seseorang, menjadikannya seakan-akan mustahil untuk berubah.
Inilah sebetulnya fawaid madrasah ramadhan, yaitu melakukan karantina selama kurang lebih sebulan lamanya untuk mengendalikan kebiasaan-kebiasaan menjadi baik sehingga dapat diduplikasi di bulan-bulan setelahnya. Momen ini menjadi penting, karena untuk “memaksa” orang meninggalkan kebiasaan tertentu dibutuhkan instrumen yang kuat, dan ideologi/perintah agama merupakan salah satu alat pendisiplinan massal yang cukup powerful.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mengapa perspektif ini penting? Orang Bugis mengatakan lele mua abiasange, abiasang topa palelei, artinya kebiasaan hanya dapat dirubah melalui pembiasaan pula. Penanaman pola-pola pembiasaan yang baik penting dilakukan dalam kurun waktu tertentu untuk mengganti kebiasaan-kebiasaan yang negatif, dan itu dapat ditemukan di bulan ramadhan.
Selain tujuan utama untuk mendapatkan keridhaan Allah, pahala yang berlipat ganda, serta ampunan, amaliyah-amaliyah ramadhan yang dilakoni secara berulang-ulang selama bulan ramadhan pada hakikatnya sedang membentuk pembiasaan dalam diri manusia. Pola inilah yang diharapkan akan terus tertanam dan dapat menggeser perlahan-lahan kebiasaan-kebiasaan buruk yang terlanjur bersarang dalam diri seseorang.
Jika masyarakat memaksimalkan amaliyah ramadhan dengan sebaik-baiknya, ada harapan besar terhadap tatanan kehidupan yang lebih baik, karena pada prinsipnya tingkah laku dan karakter manusia dibentuk dari kebiasaan yang dilakukan secara terus-menerus. Kebiasaan yang melekat pada diri seseorang itulah yang akan menjadi sifat baginya, dalam tempo yang lama akan menjadi karakter pada diri seseorang, dan secara kolektif akan menjadi budaya bagi masyarakat.
Adalah sebuah pemandangan yang menggembirakan ketika masyarakat sangat bersemangat menjalankan berbagai amaliyah yang sangat produktif terhadap relasi vertikal dan horisontalnya/kemanusiaan di bulan ramadhan. Tetapi sangat disayangkan, jika kebiasaan-kebiasaan yang baik itu tidak dapat menular ke bulan-bulan lainnya. Mungkin inilah yang tepat dialamatkan sebuah perkataan kepadanya, “kun rabbaniyyan wala takun ramadhaniyyan”, artinya jadilah hamba Allah, jangan menjadi hamba ramadhan, yaitu orang-orang yang hanya melakukan kebaikan-kebaikan pada bulan ramadhan, tapi mereka kembali ke kebiasaan buruknya seiring kepergian bulan ramadhan.
Ibadah puasa yang ditunaikan sebetulnya mengajarkan manusia untuk mengendalikan diri dalam banyak hal. Mengajarkan manusia untuk mengendalikan nafsu makannya, nafsu syahwatnya, nafsu amarahnya, nafsu serakahnya, serta mengajarkan sifat empati, kedisiplinan dan persatuan. Semua ini juga disinggung oleh Muhammad bin Shalih al Munajjid dalam sebuah kutaibnya.
Makan harus dikendalikan, baik dari volume maupun pemilihan nutrisinya, serta halal haramnya. Bukankah saat ini makanan menjadi pemicu berbagai macam penyakit. Jika dahulu banyak orang yang meninggal dunia disebabkan karena kekurangan makanan (kelaparan), di sebagian besar negara masa kini kelebihan makanan telah menjadi masalah yang jauh lebih buruk ketimbang bencana kelaparan.
Itu kata Harari dalam Homo Deus. Pantaslah jika ada hadits yang berbunyi “Tidaklah anak Adam memenuhi wadah yang lebih buruk dari perut” (HR.at-Tirmidzi). Dalam Al-Qur’an surah al-A’raf ayat 31 juga disebutkan, “Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan”. Selain itu, Allah juga perintahkan “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik” (QS. Al-Maidah: 88). Semua ini adalah petunjuk pentingnya manusia memiliki perhatian besar terhadap makanan, dan ini mudah bagi yang ingin membiasakannya di bulan ramadhan.
Syahwat juga harus dikendalikan, bukankah salah satu penyakit sosial yang selalu meresahkan masyarakat adalah tindakan asusila/prostitusi yang dilatarbelakangi oleh syahwat terhadap lawan jenis. Betapa banyak orang-orang besar dan sukses yang terkadang dihancurkan oleh fitnah wanita, dan semua itu sudah diperingatkan dalam sebuah hadits Rasulullah “Aku tidak meninggalkan fitnah yang lebih berbahaya bagi para lelaki selain fitnah wanita” (HR. Al-Bukhari).
Pengendalian emosi juga adalah perawat yang sangat berjasa dalam menjaga hubungan sosial, serta membantu meredam potensi konflik. Ibadah puasa dan kesabaran memang tak terpisahkan, bahkan keduanya memiliki pahala yang sama-sama spesial. Puasa dijanjikan pahala yang tidak disebutkan dalam bentuk angka dalam sebuah hadits, tapi Allah sendiri yang akan membalasnya, ini terasa sangat istimewa. Begitupula dengan kesabaran, nilai pahalanya tak terukur dengan angka, tapi tak terhingga (tanpa batas) (QS.39: 10).
Ramadhan juga disebut sebagai bulan berbagi, dimana di bulan inilah orang lebih cenderung menjadi dermawan dengan berbagai dalil keutamaan memberi. Sebuah mahfuzhat Arab (kata mutiara) berbunyi “Faqidu as-Syaii, La yu’ thihi”, artinya orang yang tidak memiliki, bagaimana ia bisa memberi. Ini dapat dipahami bahwa idealnya seseorang harus memiliki keberdayaan ekonomi agar dapat memberi dan berbagi dengan lapang.
Ibadah puasa juga mengajarkan manusia untuk berempati. Menahan diri di siang hari merupakan sebuah perenungan tentang perasaan orang-orang yang membutuhkan sesuatu tapi mereka memiliki keterbatasan-keterbatasan. Hal ini juga dapat membuat seseorang merasa cukup (qana’ah) serta mengendalikan ketamakan terhadap harta dan hak-hak orang lain.
Jika bulan ramadhan berhasil mendisiplinkan kebiasaan-kebiasaan baik, mulai dari pengendalian makan, syahwat, emosi, sampai pada solidaritas dan soliditas jamaah (persatuan), maka harapan selanjutnya adalah bagaimana kebiasaan-kebiasaan yang baik itu dapat terawat dengan baik di bulan-bulan berikutnya sehingga dapat menjadi kekuatan masyarakat dalam menghadapi berbagai permasalahan; ekonomi, kesehatan, pendidikan dan sebagainya.
The Power of Habit. Kebiasaan dapat mengalahkan kecerdasan. Pandangan ini telah saya kemukakan pada ramadhan tahun lalu di sebuah SMA di Kabupaten Sinjai ketika menyampaikan ceramah dalam rangka buka bersama yang diselenggarakan oleh gabungan alumni 3 angkatan.
Dihadapan para tamu undangan, kepala sekolah beserta tenaga pendidik yang hadir serta para alumni, saya menjelaskan bahwa kecerdasan yang dimiliki seseorang hanya dapat berfungsi ketika orang itu sadar (ingatan berfungsi dengan baik), tapi tidak dengan kebiasaan. Kebiasaan yang sudah “mendarahdaging” akan dengan sendirinya “terjadi”.
Itulah kenapa kita perlu membiasakan melakukan kebaikan-kebaikan sampai kebiasaan baik itu tetap “terjadi” meskipun seakan-akan kita tidak ingin melakukannya. Salah satu contohnya, mengapa kita perlu membiasakan berdzikir sampai lisan kita menyebut-nyebut Allah seakan-akan kita lupa kalau kita sedang berdzikir? Salah satunya, karena ketika maut menghampiri, dalam keadaan sekarat, tubuh tidak lagi berfungsi sebagaimana biasanya, perlahan ingatan akan hilang dan kecerdasan tak lagi berfungsi. Hanya kebiasaan lisan mengucap lafazh-lafazh dzikirlah yang dapat membantu memudahkan lafazh-lafazh dzikir itu tersebut dengan baik, Biiznillah.
Semoga bermanfaat.
Allahu A’lam bi ash-Shawab Wa Hua waliyyu at- Taufiq.
Oleh: Muhlis Pasakai (Pengurus Pimpinan Daerah Muhammadiyah Sinjai)