Di sebuah rumah di Sawangan, ada sekelompok anak muda yang tidak percaya pada kata mustahil. Mereka tak punya kantor megah, tak punya papan nama, apalagi anggaran resmi. Yang mereka miliki hanya keresahan—dan keyakinan bahwa keresahan itu tak boleh dibiarkan diam. Depok, kota yang dengan bangga menyebut dirinya religius, diam-diam punya luka. Luka itu bernama prostitusi, yang tersembunyi di gang-gang, di kamar kontrakan, di penginapan murah. Semua orang tahu, semua orang pura-pura tak tahu. Bondan Kosyadi memilih untuk tidak berpura-pura. Ia bukan pejabat, bukan polisi, bukan pula ustaz dengan mimbar. Ia hanya seorang warga yang percaya bahwa setiap orang berhak punya jalan pulang. Dari keresahan itu, ia membangun Komunitas Pemuda Depok Bersatu, enam tahun lalu, lalu belakangan bergabung dengan Lembaga Pengawasan Reformasi Indonesia (LPRI) DPC Depok.

Mereka bekerja dengan cara sederhana: sunatan massal, pengobatan gratis, santunan yatim, sembako di jalan. Dan satu yang paling berani: membebaskan perempuan dari prostitusi, lalu memberi mereka kehidupan baru. Tidak ada rehabilitasi resmi, tidak ada panti, tidak ada program pemerintah. Yang ada hanya etalase, kompor, dan warung indomie di pinggir jalan. Dari swadaya, mereka membiayai. Dari urunan, mereka menolong. Sampai hari ini, sembilan belas orang telah beralih. Sebagian tetap bertahan, sebagian pulang kampung, sebagian jatuh lagi. Tetapi ada yang hidupnya berubah—dan itu cukup jadi alasan untuk terus. Pemerintah tahu. Satpol PP tahu. Bu Linda, waktu itu ketuanya, bahkan pernah memuji. “Kerja bagus,” katanya. Janji diberikan: nanti dikoordinasikan, nanti dibicarakan dengan Dinas Sosial. Janji tinggal janji. Tiga tahun sudah berlalu, tak ada anggaran, tak ada tindak lanjut.

Bondan Kosyadi tidak marah. Ia hanya terus bekerja. Setiap kali ada yang benar-benar ingin berhenti, ia datang membawa modal kecil, meminjamkan tenaga, menyusun ulang harapan. “Kalau mereka sungguh-sungguh, kami bantu. Kalau mereka kembali, barangnya kami ambil untuk orang lain,” ujarnya datar.

Di kota yang lebih suka rapat ketimbang bertindak, mereka bergerak tanpa rapat. Di kota yang menutup mata pada luka, mereka menyalakan lilin kecil.

Lilin itu memang kecil. Tapi gelap hanya bisa dikalahkan dengan cahaya sekecil apapun.