Selalu ada konflik dalam hajatan demokrasi.
Setidaknya konflik kepentingan.
Kepentingan untuk berkuasa.
Selalu ada dua sisi atau lebih yang bertarung.
Namun, konflik itu bukan hanya terjadi diluar diri, tetapi juga terjadi didalam diri.
Sudah ada tarik-menarik didalam diri seseorang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Konflik apakah itu dan bagaimana bentuk tarikannya?
Bila dikiaskan dalam bentuk percakapan di media sosial facebook atau grup whatsapp pada setiap menjelang ajang kontestasi memilih calon pemimpin, masing-masing pendukung kandidat akan selalu beradu argumen dan narasi dalam menjagokan dukungannya.
“Pada 27 Nopember 2024, semua wajib pilih akan menentukan masadepan sebuah daerah yang akan menggelar hajatan Pesta Demokrasi. Semua wajib pilih punya cara untuk memilih dan menunjuknya secara langsung pilihan mereka. Baik tidaknya calon pemimpin, tergantung dari dirimu sendiri. Tentukanlah sendiri pilihanmu sesuai kehendakmu”.
Kurang lebih demikian pengharapan banyak orang ketika hajatan Pesta Demokrasi memilih pemimpin atau memilih calon kepala daerah, sudah didepan mata.
Pemilih pun dihidangkan beberapa figur untuk menjadi pilihan dalam menentukan pemimpin di daerahnya. Setiap calon pemimpin datang dan memberikan keyakinan bahwa ia pantas untuk dipilih.
Ada yang datang dengan segudang ide, gagasan dan cita-cita yang menjanjikan.
Ada pula yang datang dengan modal kekerabatan, kedekatan emosional dan hubungan sosial.
Bahkan, ada pula yang bertamu menawarkan diri dan/atau calonnya hanya dengan modal materi, benda atau souvenir tertentu.
Dalam kondisi seperti ini, Pemilih dihadapkan pada dua pilihan.
Apakah dia akan memilih dengan menggunakan rasio atau dia akan memilih berdasarkan rasa?
Pemilih yang menjatuhkan pilihannya berdasarkan rasio inilah, yang kemudian disebut dengan Pemilih Cerdas.
Pemilih yang dalam menentukan pilihannya didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan akal.
Dia memilih calon pemimpin karena kapasitas, kecakapan dan kualitas yang melekat pada diri sang calon pemimpin.
Dia mencari tahu tentang bagaimana track record-nya.
Dia menelaah apa prestasinya.
Dia menganalisis apa misi dan program kerjanya.
Dia sadar bahwa daerahnya mesti dipimpin oleh orang yang mampu mengelola, meramu dan merancang daerahnya ke masadepan yang lebih cerah.
Dan itu hanya dimiliki jika pemimpinnya memiliki kualitas diri.
Pemilih yang mengedepankan rasio atau pemilih cerdas, merupakan pemilih yang tidak terpengaruh dengan iming-iming sesaat. Pandangannya jauh kedepan.
Dia memandang bahwa daerah ini adalah masa depannya.
Karenanya, dia tidak terpengaruh dengan pemberian dan transaksi sesaat yang sifatnya materi, dimana pemberian itu dalam satu, dua, tiga hari, ludes seketika.
Pemilih cerdas adalah pemilih yang harga suaranya tak ingin dinilai dengan rupiah. Bukan karena tak berharga, tetapi karena tak ternilai. Ibaratnya, harga suaranya serupa harga dirinya.
Sementara Pemilih yang mengedepankan rasa adalah Pemilih yang mendasarkan pilihannya karena kedekatan emosional.
Dia mengabaikan tentang kualitas diri sang calon. Karena baginya, kualitas diri sang calon, tak penting.
Track record, visi misi dan program sang calon, tak berefek baginya.
Dia mengambil sikap sangat personal dan subjektif dalam memilih pemimpinnya.
Pemilih dalam kategori Pemilih Rasa, adalah Pemilih yang pilihannya didasarkan pada beberapa motif.
Pertama, motif hubungan kekerabatan.
Motif ini didasarkan karena faktor keluarga. Dia memilih calon tertentu karena kedekatan keluarga. Dalam memilih pemimpin, dia mencari tahu tentang sejauh mana pertalian darahnya dengan calon pemimpin yang akan dipilihnya.
Kedua, motif primordial.
Pemilih dalam kategori ini adalah pemilih yang menjatuhkan pilihanya berdasarkan keturunan. Sebelum memilih calon tertentu, dia mencari tahu terlebih dahulu dari keturunan mana calon pemimpin berasal. Dari rahim mana dia lahir. Masih memandang tentang “aliran darahnya”, apakah berasal dari “darah biru” atau warna darah yang lain.
Ketiga, motif pertemanan.
Motif ini didasarkan karena kedekatan hubungan pertemanan dengan sang calon. Dia memilih calon tertentu karena dia “sekelompok” dengannya. Karena adanya hubungan persahabatan. Dia berada dalam satu jalinan lingkaran perkawanan dan persahabatan.
Keempat, motif identitas.
Motif ini mendasarkan pilihannya berdasarkan kesamaan suku, agama, dan ras. Sebelum memilih calon tertentu, dia mencari tahu calon yang akan dipilihnya berasal dari suku mana, agamanya apa dan rasnya apa. Jika dia punya kesamaan, maka pilihanya dialamatkan kepadanya.
Kelima, motif balas jasa.
Pemilih yang berada dalam kategori ini adalah pemilih yang mendasarkan pilihannya karena hendak membalas jasa dari calon yang akan dipilihnya. Awalnya, ada momen pada situasi-situasi tertentu, calon itu hadir dan menjadi solusi dari permasalahan yang dihadapinya. Lalu, ketika orang itu menjadi calon, maka saatnya pemilih itu membalas kebaikannya.
Keenam, motif ekonomi.
Jika kelima jenis pemilih emosional diatas, masih mendasarkan pilihannya pada motif-motif yang sifatnya immaterial, maka pemilih pada motif ini lebih memilih calon tertentu karena pemenuhan terhadap kebutuhan perutnya. Baginya, siapa yang mengisi perutnya, maka pilihanya akan ditujukan kepadanya.
Pemilih yang masuk dalam kategori Keenam inilah yang sangat mudah terpapar dengan money politic.
Pilihannya selalu berdasarkan uang. Harga suaranya seharga dengan nilai rupiah yang ia terima.
Baginya, memilih pemimpin itu ibarat transaksi di pasar. Uang adalah segalanya. Suaraku adalah uangku. Anda punya uang. Saya punya suara. Anda menginginkan suaraku, berikan uangmu kepadaku.
Pemilih dalam kategori ini, menjadikan setiap hajatan memilih pemimpin, sejenis hajatan melakukan transaksi antara uang dan suara.
Dari dua karakter pemilih diatas antara Pemilih Rasio dan Pemilih Rasa, masih mendudukkan pemilih dalam dua warna, hitam dan putih.
Jika tidak memakai rasio, maka ia menggunakan rasa.
Jika ia tidak menggunakan rasa, maka ia memilih berdasarkan rasio.
Namun, pada prakteknya, terdapat irisan-irisan motif pemilih. Yaitu, terdapat dua karakter pemilih berikutnya, yaitu pemilih rasio, tetapi rasa. Dan pemilih rasa, tetapi rasio.
Maksudnya.
Pertama, pemilih rasio tetapi rasa.
Dia tahu dan sadar bahwa dalam menentukan pilihan pemimpin, idealnya harus berdasarkan kapasitas, track record, visi, misi dan program dari setiap calon.
Namun, ketika dihadapkan pada hal-hal yang sifatnya emosional, ia tak mampu menahan diri untuk menolaknya.
Kedua, pemilih rasa tetapi rasio.
Dia tahu dan sadar bahwa faktor emosional dalam memilih pemimpin, sesuatu yang selalu ada dan nyata adanya, tetapi dia menahan diri agar tidak terlibat didalamnya. Faktor emosional bisa saja menjadi pewarna dalam menyalurkan hak pilih seseorang.
Namun, dia tidak mengabaikan faktor rasional dan tetap mengedepankan sikap cerdas, saat dia menentukan pilihan calon pemimpinnya.
Jika calon pemimpinnya punya kedekatan emosional dengannya, tetapi sekaligus dia berkapasitas, itu sebuah keberuntungan baginya, untuk tidak menjatuhkan pilihannya kepada yang lain.
Sebagai pemilih, termasuk dalam kategori manakah Anda?
Penulis: Hamzar.
Editor: Redaksi.
Bantaeng, September 2024.